Secara
umum munculnya pro-kontra bisa atau tidaknya sistem hukum tradisional mengatur
mengenai aktivitas-aktivitas di Internet disebabkan karena dua hal yaitu;
(1)
karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas, sehingga tidak
lagi tunduk pada batasan- batasan teritorial, dan
(2) sistem hukum traditional
(the existing law) yang justru bertumpu pada batas
an-batasan teritorial
dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan- persoalan hukum yang
muncul akibat aktivitas di Internet. Pro- kontra mengenai masalah ini
sedikitnya terbagai menjadi tiga kelompok.
Kelompok
pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan
atas sistem hukum tradisional/konvensional.
Istilah ”sistem hukum tradisional/konvensional” penulis gunakan untuk menunjuk kepada sistem hukum yang berlaku saat ini yang belum mempertimbangkan pengaruh-pengaruh dari pemanfaatan Internet.
Mereka
beralasan bahwa Internet yang layaknya sebuah ”surga demokrasi” (democratic
paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalu-lintas ide secara bebas dan
terbuka tidak boleh dihambat dengan aturan yang didasarkan atas sistem hukum
tradisional yang bertumpu pada batasan-batasan territorial. Dengan pendirian
seperti ini, maka menurut kelompok ini Internet harus diatur sepenuhnya oleh
sistem hukum baru yang didasarkan atas norma-norma hukum yang baru pula yang
dianggap sesuai dengan karakteristik yang melekat pada Internet. Kelemahan
utama dari kelompok ini adalah mereka menafikkan fakta, bahwa meskipun
aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun masih tetap
melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (physical world).
Sebaliknya,
kelompok kedua berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur
aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan. Tanpa harus
menunggu akhir dari suatu perdebatan akademis mengenai sistem hukum yang paling
pas untuk mengatur aktivitas di Internel. Pertimbangan pragmatis yang
didasarkan atas meluasnya dampak yang ditimbulkan oleh Internet memaksa
pemerintah untuk segera membentuk aturan hukum mengenai hal tersebut. Untuk itu
semua yang paling mungkin adalah dengan mengaplikasikan sistem hukum
tradisional yang saat ini berlaku.
Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama yaitu mereka menafikkan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di Internet menyajikan realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
Kelompok
ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka
berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di
Internet harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip ”common
law” yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitikberatkan kepada
aspek-aspek tertentu dalam aktivitas ”cyberspace” yang menyebabkan kekhasan
dalam transaksi- transaksi di Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang
cukup moderat dan realistis, karena memang ada beberapa prinsip hukum
tradisional yang masih dapat merespon persoalan hukum yang timbul dari
aktivitas Internet disamping juga fakta bahwa beberapa transaksi di Internet
tidak dapat sepenuhnya direspon oleh sistem hukum tradisional.
Cyber Law
Secara
akademis, terminologi ”cyber law” tampaknya belum menjadi terminologi yang
sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya terminologi lain
untuk tujuan yang sama seperti The law of the Inlernet, Law and the Information
Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan
sebagainya.
Di
Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling
tidak hanya sekedar terjemahan atas terminologi ”cyber law”. Sampai saat ini
ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”,
misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika
(Telekomunikasi dan Informatika).
Sebagaimana
dikemukakan di atas, lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan hukum yang
dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat dari pemanfaatan
Internet terutama disebabk an oleh sistem hukum tradisi.onal yang tidak
sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari
Internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan
mengusangkan konsep-konsep hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan
yurisdiksi. Kedua konsep ini berada pada posisi yang dilematis ketika harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan
Internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan kedaulatan suatu
negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford seorang pakar cyberlaw dari Michigan
State University sampai pada kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan
Internet sebenarnya telah terjadi semacam ”paradigm shift” dalam menentukan
jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens menjadi netizens.
Dilema
yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena cyberspace ini
merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang cukup akomodatif
terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul akibat pemanfaatan Internet. Aturan
hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum
(the legal needs) para pihak yang terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat
Internet.
Proposal
Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai ”Lex Mercatoria” yang
merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon
kebutuhan- kebutuhan hukum (the legal needs) para pelaku transaksi dagang yang
mendapati kenyataan bahwa sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalam
menjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan
internasional. Dengan demikian maka ”cyber law” dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat
dari pemanfaatan Internet
HENDY YUDISTIARDI
ardiekrenz@gmail.com
@arts999

Tidak ada komentar:
Posting Komentar